Trinity of Fantasy

EVERNA Exploring Worlds of Fantasy (English)
http://fireheart-vadis.blogspot.com/
Everna and FireHeart Saga Novels by Andry Chang, research notes and records about worlds of Fantasy/Epic Fiction in general

Fantasy Worlds Indonesia (Indonesian)
http://fantasindo.blogspot.com/
News and updates about Everna Saga - FireHeart Published Novels by Andry Chang in Indonesian Language
and reviews about Indonesian fantasy fiction writers, aspiring writers and creators in general

EVERNA Codex Evernium (English-Indonesian)
http://evernade.blogspot.com
EVERNA SAGA Wiki, Lore and Encyclopedia
Come forth, Paladins! Fulfill Your Destiny!

Explore Everna With Google

Google

EVERNA Kucing Bersepatu Bot - Andry Chang



KUCING BERSEPATU BOT
Andry Chang

Tak terlalu jauh dari Cadoban, ibukota Kerajaan Corazon ada sebuah daerah yang agak terpencil bernama Carabas. Daerah itu terdiri dari beberapa desa dan pusatnya adalah sebuah puri megah yang berdiri di atas sebuah bukit berbunga.
Tuan rumah puri itu adalah seorang bangsawan terhormat bergelar Marquis. Namanya adalah Enrique de la Fontana. Pria berusia empat puluhan itu tak berkeluarga dan konon adalah seorang pendekar pedang anggar yang amat piawai. Tak banyak pelayan yang berkerja di puri itu, berhubung sang tuan rumah jarang keluar rumah dan cenderung penyendiri.
Suatu hari, suara gedoran amat keras yang bertalu-talu di pintu utama puri amat mengganggu acara baca buku sore sang bangsawan. Belum sempat Enrique menyuruh pelayannya menanyakan tingkah-laku tidak sopan itu, pintu besar dijebol seperti suara ledakan dan sesosok pria raksasa masuk.
Secepat kilat tuan rumah mengambil pedang anggarnya dan berhadap-hadapan dengan si raksasa dari balkon. “Asal kau tahu bung, Pedang Escudo Coniferia milikku mampu melubangi zirah besi dan gunung batu cadas. Jadi, keluar kau dari sini! Aku tak mau mengotori karpet puri ini dengan darahmu!”
“Hngh, aku tak takut dengan pedangmu,” tanggap si raksasa berjanggut pirang lebat itu sambil mendengus. “Aku, Magno Ferguso telah menguasai ilmu gaib, yaitu mengubah wujud diriku sendiri atau siapapun menjadi hewan apa saja sekehedakku. Karena itulah aku ingin hidup mewah bagai raja-raja. Puri Carabas ini amat indah dan sempurna untuk kurebut jadi tempat tinggalku.”
“Dasar takabur! Biar kuberi kau pelajaran!” Sambil berseru, Enrique meloncat dari balkon dengan pedang terhunus, siap melubangi tulang dahi si raksasa dengan satu tusukan saja.
Sadar dirinya adalah sasaran yang besar nan empuk, dengan sigap Ferguso berubah wujud menjadi seekor serigala hitam. Terkejut, Enrique nyaris kehilangan keseimbangan dan bisa patah tulang bila jatuh dari balkon ke lantai bawah dalam keadaan begitu. Untunglah ia cepat-cepat menancapkan pedangnya pada pilar terdekat, membiarkan bilah pedang menggores pilar pualam itu untuk menahan laju jatuhnya.
Baru saja kaki si pendekar menjejak lantai, terkaman serigala sudah menyambutnya. Enrique berkelit cepat, berputar dan meluncurkan rentetan tusukan dengan Coniferia. Si serigala sempat mundur, namun Enrique terus mencecar sambil berlari lebih cepat lagi dari hewan itu.
Setelah lebih dari semenit kejar-kejaran, tiba-tiba si serigala hitam kembali berubah ke wujud semula, yaitu si raksasa. Ternyata sihir Ferguso tak bertahan lama dan bisa luntur sewaktu-waktu dalam hitungan menit saja.
Tentu Enrique tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan cepat-cepat menusuk tepat ke arah mata si raksasa yang sebesar buah apel. Namun si raksasa tak kehabisan akal. Kembali ia berubah wujud menjadi hewan yang lebih kecil lagi, yaitu seekor tikus.
Enrique berdecak kesal, tusukannya yang hanya menembus udara. Kini ia menoleh kesana-kemari kewalahan, mencari-cari tikus yang lebih gesit dan lebih sulit dilacak dengan mata manusia biasa itu.
Si tikus sengaja berputar-putar mengelilingi Enrique sambil sesekali mencakar kakinya. Alhasil, si manusia berlari-lari, berputar-putar dan menusuk-nusuk kebingungan. Dua menit telah berlalu dan sihir si raksasa tak kunjung luntur. Akibatnya, Enrique mulai terhuyung kepusingan.
Saat itulah si raksasa kembali ke wujud semula, lalu merengkuh tubuh Enrique dengan telapak tangannya bagai sedang mengangkat seekor kucing.
Ferguso menatap Enrique yang sudah setengah pingsan itu sambil tertawa terbahak-bahak. “Puri Carabas jadi milikku, Don Enrique! Tapi jangan takut, sebagai tanda terima kasih aku tak akan membunuh kamu. Aku bahkan akan memberikan hidup baru yang lebih pantas dan lebih bebas untukmu! Rasakanlah sihir pamungkasku, Wujud Satwa Abadi!”
Satu telapak tangan si raksasa yang bebas lantas berpendar kehijauan. Lalu Ferguso menekankan telapak itu pada dada Enrique. Si manusia berteriak, tersiksa melebihi batas ketahanan tubuhnya.
Perlahan tapi pasti, tubuh Enrique seakan menyusut. Bulu-bulu jingga jahe tumbuh dan memenuhi seluruh tubuhnya. Bahkan wajah, telinga dan seluruh kepala Enriquepun berubah. Sinar hijau kembali membungkus tubuh pria malang itu. Ferguso melepaskan genggamannya dan Enrique jatuh di lantai.
Si raksasa terduduk dengan napas terengah-engah, energi sihirnya terkuras. Namun kondisinya ini masih jauh lebih baik dibanding lawannya. “Wah, ternyata itu ya hewan yang terpendam dalam dirimu. Harus kuakui, kau sungguh manis, Pus.” Ferguso tertawa terbahak-bahak.
Saat kesadaran Enrique kembali pulih dan ia melihat tangan dan tubuhnya sendiri, ia baru menyadari arti panggilan “Pus” pada dirinya itu. Ternyata ia telah menjadi seekor kucing.
Sadar dirinya tak mungkin menang melawan si raksasa, si kucing kelabu cepat-cepat menggigit gagang pedang yang tergeletak di lantai, tepat di sampingnya. Ia berniat lari lewat pintu depan, sayang si raksasa menghadangnya.
“Aku tahu niatmu, tapi jangan berharap banyak, bung,” sergah Ferguso. “Kutukan tadi itu akan tetap ada seumur hidupmu, kecuali ada sihir lain yang jauh lebih kuat dari ini untuk membatalkannya. Kalaupun ingin bertingkah laku dan bergerak seperti manusia, setidaknya kau harus mengenakan sepatu. Itulah kata penyihir yang mengajariku sihir Wujud Satwa Abadi itu. Nah, nikmatilah hidupmu sebagai kucing sampai akhir hayatmu, Don Enrique!”
Enrique bicara, ternyata ia masih bisa bersuara dan berbahasa manusia. “Terkutuk kau, Ferguso! Suatu hari aku akan merebut kembali Puri Carabas darimu!”
Si manusia raksasa makin tergelak hingga perut buncitnya bergoyang-goyang. “Mustahil, selama aku masih bernyawa! Pergilah sana selamanya, kucing pengganggu! Hus! Hus!”
Ferguso seakan hendak menghantam alih-alih mengusir si kucing. Terpaksa Enrique pontang-panting menghindar dan mencoba menusukkan pedangnya.
Dalam satu usaha terakhir, si kucing mendoncang maju secepat empat kakinya berlari. Bilah pedang yang digigitnya itu sempat menorehkan luka dekat tumit si raksasa yang tak bersepatu. Jadi, saat Ferguso memegangi tumitnya sambil meringis kesakitan, Enrique memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri lewat pintu depan Puri Carabas.
“Maafkan aku, para abdiku!” gumam si kucing. “Suatu hari aku akan membebaskan kalian semua!”
Tanpa menoleh sekalipun ke belakang, Enrique terus berlari menyusuri jalan setapak dan tiba di desa terdekat, yaitu Pua Leto.
Sebenarnya dalam wujud kucing Enrique harusnya dapat menempuh jarak antara Carabas dan Pua Leto tanpa henti dan tiba dalam kondisi segar-bugar, tak seperti manusia yang pasti roboh kelelahan. Namun akibat segala tekanan, luka dan tenaga yang terkuras akibat pertarungan dengan Ferguso tadi, si kucing akhirnya roboh tak sadarkan diri di depan kincir angin, rumah seorang pengirik gandum.
Pak pengirik gandum tua lantas menemukan kucing dan pedang istimewa itu di teras rumahnya. Tergerak oleh belas kasihan, si pengirik membawa si kucing masuk, merawatnya hingga pulih dan memeliharanya sebagai hewan kesayangan dan pengusir tikus. Sementara pedang escudo itu dibuatkan sarung dan disimpan baik-baik seolah itu adalah hartanya yang paling berharga.
Selama tinggal di rumah si pengirik gandum miskin itu, si kucing yang dinamai Puss oleh majikannya hanya mengeong dan tak sekalipun bicara dengan bahasa manusia hingga waktu yang tepat tiba. Alasan Puss sederhana, ia harus menyembunyikan aslinya sebagai Don Enrique de la Fontana. Setidaknya hingga ia menemukan calon yang tepat untuk menggantikannya sebagai Marquis dari Carabas.

==oOo==

Tahun demi tahun berlalu. Pergantian pemilik Puri Carabas membuat desa-desa di bawah kuasanya dengan cepat melupakan si tuan tanah. Daerah Carabas yang tak pernah masuk dalam peta Negeri Corazon jadi makin terlupakan.
Walaupun terbebas dari kewajiban membayar pajak pada tuan tanah, penduduk desa-desa di Carabas masih dirundung kesulitan. Dari waktu ke waktu, ada saja ternak atau binatang hutan yang hilang. Tanda-tanda bekas cakaran di pohon-pohon dan pagar-pagar peternakan menunjukkan bahwa pelakunya pasti sekawanan serigala.
Belum lagi bahan-bahan makanan nabati dan bukan daging seperti gandum, keju dan lain sebagainya banyak yang digondol tikus. Yang paling jarang terjadi adalah beberapa penduduk desa yang tiba-tiba menghilang. Yang kadang ditemukan adalah sisa-sisa jenazah dan tulang-belulang manusia yang telah menjadi mangsa singa. Masalah-masalah semacam ini terus berlangsung tanpa bisa dipecahkan. Akhirnya para penduduk hanya bisa pasrah saja.
Tak seorangpun tahu persis siapa sebenarnya pelaku segala teror itu selain Puss si kucing. Namun satwa jelmaan Enrique itu memilih diam dan hanya membasmi tikus-tikus lain saja.
Toh tikus sakti dan cerdas bernama Ferguso itu tak berani menyatroni rumah yang ada kucingnya. Lagipula tuannya bukan peternak, sehingga ia bebas dari ancaman serigala sakti.
Ada hal lain yang membuat Puss kuatir. Majikannya, si pengirik gandum sudah tua dan sakit-sakitan.
Pria itu memiliki tiga orang putra. Putra sulung, Edoardo dan putra tengah, Rafael bersifat pemalas, pemboros dan sering menjahili kucing seperti dirinya.
Sebaliknya, putra ketiga, Diego rajin bekerja dan penuh perhatian pada sang ayah dan Puss. Sayang, usianya baru enam belas tahun. Ia tak bisa mengambil inisiatif dan keputusan sendiri, selalu hanya patuh dan menurut pada perintah kedua kakaknya saja.
Ingin Puss minggat saja untuk mencari calon murid yang lebih pantas daripada Diego. Namun Puss tak kunjung pergi, karena ia ingin membalas budi dengan bekerja dan menemani majikannya sampai pak tua itu berpulang.
 Suatu hari, pak pengirik gandum sakit keras dan ia memanggil ketiga putranya. Merasa ajalnya sudah dekat, ia membagi-bagikan seluruh hartanya yang tak seberapa sebagai warisan.
Edoardo yang tertua mendapatkan kincir angin sekaligus alat pengirik dan penggiling gandumnya.
Putra kedua, Rafael mewarisi keledai yang selama ini menjalankan perangkat pengirik gandum menggantikan tenaga manusia.
Sedangkan untuk putra ketiga, Diego, sang ayah mewariskan kucing kesayangannya, Puss.
Hanya Edoardo saja yang diam-diam tersenyum di balik tangisnya. Ia meninggalkan kamar ayahnya untuk menyusun rencana-rencana baru.
Merasa kecewa dan patah arang, Rafael keluar dari kamar dengan kepala tertunduk. Beberapa hari kemudian, ia bakal menjual keledai itu pada kakaknya dan pergi merantau.
Setelah tabib, pendeta desa dan kepala desa juga meninggalkan ruangan itu, tinggal Diego yang masih duduk di sisi ranjang ayahnya. Namun wajahnya jelas mengguratkan raut kecewa.
Sebagai orang yang lurus dan jujur, Diego bertanya, “Ayah, mengapa hanya Puss saja yang ayah wariskan padaku? Bukankah kucing hanya berguna untuk menangkap tikus saja? Aku jelas tak punya uang untuk memberinya makan. Ini sama saja aku tak mendapatkan warisan apa-apa!”
Dengan perlahan sang ayah menjawab, “Diego, dengarkan ayah baik-baik. Puss adalah kucing yang istimewa. Dulu ayah menemukannya tengah memeluk sebuah pedang istimewa berbilah logam langka, escudo. Ambillah pedang itu di... peti pakaian ayah.”
Setelah Diego mengambil pedang besar yang anehnya terasa ringan itu, ia bertanya lagi, “Apa aku sebaiknya menjual kucing dan pedang ini saja?”
“Itu terserah kamu, nak. Tapi firasat ayah berkata, kau ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih besar daripada jadi pengirik gandum sepertiku. Dan ayah percaya, Puss dan pedang escudo itu adalah kunci yang akan membuka pintu menuju kemungkinan, peluang dan takdir yang belum terungkap itu.”
“Lantas, mengapa bukan Kak Edoardo atau Kak Rafael saja yang mewarisi itu? Mereka jauh lebih kuat dan lebih gagah daripada diriku.”
“Itu karena hanya itu saja yang mereka punya. Kau tulus, rajin dan baik hati. Dengan arahan yang tepat, kau bisa jadi kuat pula.”
Walau dahinya masih berkerut dan pikirannya masih dirundung duka, akhirnya Diego mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan mengikuti petunjuk ayah.”
Si pengirik gandum menarik napas panjang. “Ah, baguslah. Aku kini dapat... pulang pada Vadis... tanpa penyesalan... Karena setidaknya... salah satu putraku punya peluang... untuk bernasib lebih baik daripada sebatas jadi... pengirik... gandum...”
Kepala si pria tua itu tergolek ke samping, teriring embusan napas terakhirnya.
Melihat itu, Diego menangis sejadi-jadinya sambil memeluk jenazah sang ayah.
Ironisnya, hanya pendeta desa saja yang kembali ke kamar itu untuk menyampaikan doa. Bisa dibayangkan bagaimana perjalanan hidup Diego kelak kalau ia tetap diam di kincir pengirikan kakaknya.
Setelah mengatur soal pemakaman sang ayah dengan pendeta, Diego kembali bersama Puss dan juga pedang escudo di tangannya ke kamarnya di puncak menara kincir angin untuk menenangkan diri.
Melihat Diego tengah berdiam diri dan bermuram durja, Puss memanjat ke ranjang tempat Diego duduk bersandar. Lalu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun silam Puss bicara dengan bahasa manusia, “Rupanya kau adalah majikan baruku sekarang, Tuan Diego.”
Diego terkejut dan hampir pingsan melihat kucingnya bisa bicara seperti dirinya. Ia menunjuk-nunjuk dan suaranya bergetar. “K-kau ini apa? Bagaimana bisa...?”
Si kucing menjawab dengan tenang, cenderung penuh gaya. “Tak usah heran. Kau tinggal di Everna, dunia berjuta keajaiban, bukan? Wajar saja ada kucing jadi-jadian yang bisa bicara! Jangan pingsan dan dengarkan aku dulu. Sikapmu saat ayahmu berpulang tadi sungguh mengharukan.”
“Huh, benarkah? Wajar dan biasa saja kalau anak berduka atas kepergian ayahnya.”
“Tapi itu jadi menarik karena di antara kalian tiga bersaudara hanya kau yang peduli pada ayahmu. Jadi, tinggal satu masalah yang perlu kita pastikan.”
“M-masalah apa?”
“Begini, asal kau tahu, semula aku berniat meninggalkan tempat pengirikan gandum ini segera setelah ayahmu wafat. Tapi, ternyata ayahmu mewariskan aku dan pedangku padamu.”
Diego mendelik, wajahnya makin pucat.
Melihat itu, Puss menghela napas. “Kurasa aku tak punya pilihan selain menerimamu sebagai majikan dan muridku. Andai aku meninggalkanmu, kau bakal selamanya jadi budak kakak tertuamu Edoardo, bukankah begitu?
Sebelum Diego sempat menjawab, Puss kembali bicara, “Pasti begitu! Nah, kalau kau benar-benar ingin memenuhi pesan terakhir ayahmu, kau harus mengikuti setiap petunjuk dariku...”
“T-tapi, aku ini kan...?”
“... Tanpa banyak tanya,” potong Puss. “Kalau kau tak menurut satu kali saja, anggap saja kesempatan untukmu mengukir nama besar sudah lenyap, puff, seperti sulap. Kau mengerti, kan?”
“Ya, aku mengerti, Puss.” Sifat Diego yang penurut memang cocok dengan watak si kucing penjelmaan bangsawan bernama Don Enrique de la Fontana ini.
“Baiklah, latihan pertamamu akan dimulai pagi-pagi setelah hari ayahmu dikebumikan. Sebelum itu, buatkan aku sepatu bot dan topi lebar yang sesuai dengan ukuranku.”
“T-tapi ongkos pembuatannya bakal menguras uang tabungan yang telah kukumpulkan bertahun-tahun!” protes Diego.
Mendengar itu, Puss berbalik hendak pergi membawa pedangnya di moncongnya.
Tapi Diego cepat-cepat menahan Puss dengan berseru, “Tunggu, jangan pergi! Baiklah, aku akan mengusahakan topi dan sepatunya besok pagi!”
Puss berbalik, senyum puas pertama kini bisa tergurat di wajah kucingnya.
Diego menghela napas. Ia baru saja mendapatkan seorang guru yang menyebalkan.

==oOo==

Singkat cerita, setelah sang ayah dikebumikan, Diego jadi agak bebas tapi kelaparan.
Pasalnya, si kakak sulung, Edoardo mengelola tempat pengirikan gandum itu dengan separuh hati. Ia hanya menerima pesanan dan tinggal menyuruh Diego mengirik gandum dengan bantuan keledai yang ia beli dari Rafael.
Tak terlalu lama, para langganan yang sudah muak dengan kemalasan dan pelayanan Edoardo yang lamban lebih rela pergi ke desa tetangga untuk mengirik gandum hasil panen mereka.
Pasti percuma bila Diego memperingatkan kakaknya yang pemalas itu. Jadi, daripada buang waktu, lebih baik ia berlatih saja di bawah bimbingan gurunya, Puss.
Kini, sikap Puss si kucing jadi lebih mirip manusia. Mungkin itu karena kutukan sihir si raksasa yang kurang sempurna atau semata-mata anugrah dari Vadis.
Dengan memakai sepatu bot, Puss kini bisa berdiri tegak di atas dua kaki belakangnya. Jari-jari dan telapak kedua kaki depannya melebar dan memanjang sehingga ia bisa menggenggam pedang dan tetap bisa menggunakan cakar kucingnya. Topi lebar Puss yang berhias bulu burung berfungsi melindungi bulu-bulu tubuh pemakainya yang memang tidak suka air dan paling tidak suka kehujanan.
Puss terus menggembleng Diego dengan mengajarinya ilmu pedang, etiket kebangsawanan dan segala ilmu pengetahuan yang penting sebagai bekal dan modal untuk meraih peluang besar kelak. Sifat dasar Diego yang penurut, gigih dan rajin membuatnya menyerap semua ilmu itu dengan amat cepat dan lancar.
Bahkan, dalam latih-tanding Diego akhirnya berhasil melucuti pedang kayu dari tangan gurunya.
“Bagus,” ujar Puss sambil bertepuk cakar. “Kau telah menguasai dasar-dasar ilmu pedang anggar, juga beberapa jurus andalanku. Semua pengetahuan dasar termasuk etika kebangsawanan juga telah cukup kaukuasai. Jadi kini kita akan melangkah ke tahap kedua dan aku harus pergi.”
Diego mendelik, bingung. “Lho, apa maksud guru?”
“Kau akan segera tahu. Aku harus pergi ke ibukota dulu untuk sementara waktu. Kau teruskanlah berlatih pedang dan belajar dari buku-buku yang kupinjamkan padamu. Tingkatkan terus kemampuan dan kekuatanmu, siapa tahu suatu hari kau akan melampaui aku.”
“Baik, guru.” Semula Diego patuh karena takut pada ancaman Puss. Tapi kini, setelah menikmati semua ajaran dan pelatihan yang ada, remaja itu mengiyakan semua petunjuk gurunya dengan senyum tulus.

==oOo==

Dalam perjalanan menuju Cadoban, ibukota Kerajaan Corazon, Puss si kucing jingga membawa sebuah karung besar kosong yang ia ambil dari tempat pengirikan gandum. Ia melintasi Desa Pua Leto dan desa-desa lain yang sejalur dengan arah perjalanannya.
Tanpa seorangpun tahu atau bisa menangkapnya, Puss mengambil beberapa wortel, sayur-mayur, buah-buahan dan jelai-jelai gandum yang amat ranum dari ladang-ladang dan kebun-kebun di desa-desa tersebut. Ia sengaja memilih hasil bumi terbaik yang memang jadi unggulan di daerah Carabas ini.
Setelah berjalan dan tak lupa singgah dan beristirahat di beberapa tempat, Puss tiba di Cadoban. Tak buang waktu, ia terus berjalan ke istana raja. Di ranah magis, Everna kucing yang bisa berjalan tegak bukan pemandangan aneh tapi nyata, jadi Puss melintasi kota dan bahkan memasuki istana tanpa memancing perhatian, apalagi kecurigaan siapapun.
Di balairung, Puss membungkuk sambil membuka topinya dengan ritme gerakan yang sempurna. Ia berkata pada Raja Carlos, penguasa Corazon, “Yang Mulia, perkenankanlah aku mempersembahkan hadiah istimewa dari tuanku, Marquis dari Carabas.”
Ia lantas membuka karung besarnya dan memperlihatkan isinya pada raja.
“Ini semua adalah hasil bumi unggulan dari tanah kami, daerah Carabas.”
Raja menyuruh pengawal pribadinya membawakan contoh hadiah itu kepadanya. Yang dibawa adalah sebuah apel merah segar yang lebih besar daripada ukuran rata-rata.
“Astaga, aku baru sadar Tanah Corazon bisa memberi hasil panenan sebagus ini.” Raja berdecak sambil mengelus janggut hitamnya. “Apa hanya hasil panen sajakah yang istimewa dari Carabas?”
“Tidak hanya hasil panen saja. Hasil ternak, permata dan bahkan hewan-hewan hutanpun sungguh istimewa, lebih unggul dari hasil daerah-daerah lainnya di negeri ini.”
“Itukah menurutmu? Baik, aku terima hadiah ini. Selanjutnya, buktikanlah kebenaran kata-katamu.”
Di hari-hari berikutnya, Puss Sepatu Bot makin sering bepergian bolak-balik dari Cadoban ke Carabas. Secara teratur kucing itu mengunjungi sang raja, membawa kelinci hutan, burung kuau, kalkun, permata dan bahkan bijih escudo. Ia mempersembahkan semuanya pada raja atas nama Marquis dari Carabas.
Sang raja berkata pada Puss, “Katakan pada tuanmu aku senang menerima hadiah-hadiahnya. Semua itu membuatku penasaran pada daerah ini... Carabas, katamu?”
“Ya, Baginda,” jawab Puss.
“Aneh, aku tak pernah melihat Daerah Carabas dalam peta atau mendengar namanya disebut oleh para menteri atau pejabat lainnya di jajaran pemerintahan. Kenyataan ini memicu keingintahuanku, karena itulah aku ingin secara pribadi berkunjung ke daerah itu dan menemui tuanmu. Di manakah letak Daerah Carabas itu?”
“Di belahan timur Corazon yang dikelilingi pegunungan. Cara untuk sampai ke sana mudah saja, yaitu menyusuri pesisir Sungai Olgazzo.”
“Kalau begitu pulanglah, sampaikan pesan pada tuanmu bahwa aku akan datang lusa bersama putriku, Patricia. Persiapkanlah penyambutan yang layak.”
“Hamba laksanakan, Yang Mulia.”
Raja Carlos lantas menghadiahkan sebuah pedang anggar mungil dengan sabuk dan sarung kulit bertatahkan permata pada Puss, tanda kekagumannya pada kucing yang amat cerdas itu. Tanpa buang waktu lagi, Puss bergegas pulang menemui majikan merangkap muridnya, memberitahu Diego tentang kunjungan-kunjungannya ke istana raja dan rencana kunjungan raja itu.
Puss lantas berkata, “Kalau kau menuruti nasihatku, kau akan beruntung. Aku ingin kau berenang di sungai dan pura-pura kena kram. Kalau ada yang menanyakan namamu, kau harus bilang bahwa kau adalah Don Diego de la Fontana, Marquis dari Carabas dan serahkan selebihnya padaku.”
“Marquis dari Carabas? Bukankah ia telah menghilang bertahun-tahun silam? Bukankah itu berarti aku harus berbohong?” protes Diego.
“Tolong jangan sok suci dan merusak rencana besar ini. Turuti dan laksanakan saja!” bentak Puss.
“B-baik, Guru.”

==oOo==

Diego melaksanakan nasihat kucing itu. Saat pemuda itu masih berendam di air sungai, diam-diam Puss membawa pergi semua pakaiannya dan menyembunyikannya di semak-semak. Namun pedang escudo tetap ia bawa bersama pedang kecilnya sendiri yang selalu disandangnya.
Saat kereta raja tiba, Puss lari ke arahnya sambil berteriak, “Tolong! Tolonglah tuanku, Marquis dari Carabas! Kumohon, tolonglah!”
Mendengar teriakan itu, sang raja memerintahkan sais menghentikan kereta dan bertanya ada masalah apa.
Sambil membungkuk di hadapan raja, Puss berkata, “Oh! Yang Mulia, tuanku sedang mandi dan seseorang mencuri pakaiannya. Ia akan kena kram dan tenggelam.”
Sang raja memerintahkan hulubalangnya mengambil salah satu pakaian cadangan terbaiknya, lalu membantu sang bangsawan muda keluar dari kolam. Saat Diego memakai pakaian raja itu, penampilannya jadi amat gagah seperti seorang pangeran. Untunglah perawakannya hampir sama dengan sang raja.
“Yang Mulia, inilah junjunganku, Don Diego de la Fontana, Marquis dari Carabas.” Dengan anggun Puss memperkenalkan si bungsu pada Raja Carlos dan Putri Patricia.
Walaupun Diego miskin, ia tampak setampan dan segagah seorang pangeran, tak diragukan lagi.
Sang raja mengundang Diego untuk duduk dalam keretanya dan berkata ia akan mengantarnya pulang. Puss berkata, “Ah, sayang kuda tuanku juga hilang dicuri. Kumohon, pinjamkan kami kuda. Biar Don Diego dan aku kembali dulu ke Puri Carabas untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Aksi pencurian tadi pasti dimaksudkan untuk mencegah Baginda mengakui Daerah Carabas dan penguasanya.”
Carlos mengangguk dan memerintahkan petugas meminjamkan kudanya yang tercepat pada Diego.
Puss memberitahu sais ke mana harus pergi dan lari jauh di depan kereta itu melintasi ladang bersama Diego. Untunglah Diego juga sudah diajari dan menguasai cara menunggang kuda kampung, jadi ia berderap dengan amat cepat dan anggun.
Sepanjang jalan, Diego dan Puss bertemu beberapa orang pembuat jerami. Puss memperingatkan mereka, “Bila sang raja bertanya pada kalian milik siapa ladang ini, katakan ini milik Marquis dari Carabas.”
Salah seorang dari mereka menyanggah, “Tapi kami sudah tidak lagi...!”
Puss menyela, “Raja Carlos telah mengakui Daerah Carabas, karena itulah beliau berkunjung kemari. Jadi kalau kalian salah bicara, raja akan anggap kalian berkhianat dan menghukum mati kalian di tempat.”
Para pembuat jerami begitu ketakutan sehingga mereka berjanji untuk mematuhi si kucing. Puss dan Diego meninggalkan mereka dan menyampaikan peringatan yang sama pada siapapun yang mereka temui sepanjang jalan. Ditambah penampilan Diego yang meyakinkan, semua warga baru sadar dan mengira ada Marquis baru di Carabas.
Sang raja yang lama kemudian lewat dan melihat para pembuat jerami merasa ingin tahu, jadi ia bertanya, “Milik siapakah ladang-ladang bagus ini?”
Para pembuat jerami menjawab, “Semua ini milik Marquis dari Carabas, Baginda.”
Carlos tersenyum riang dan menoleh pada putrinya. “Tanah milik Don Diego ini sungguh bagus! Ia sungguh tuan tanah yang berbakat. Kurasa sudah saatnya kita mencantumkan Carabas dalam peta.”
Selepas mengitari daerah pedesaan, Puss berkata pada Diego, “Ikut aku ke Puri Carabas. Kita akan merebutnya kembali dari penguasa palsu itu.”
Puss dan Diego memastikan pedang-pedang mereka tersarung dan tersandang rapi. Lalu Diego memacu kudanya dan Puss berlari secepat mungkin ke puri di atas bukit di tengah lembah itu.
Diego memandangi menara-menara yang menjulang megah itu sambil berdecak kagum. “Ternyata ini tempat tinggal tuan tanah Carabas. Seperti istana raja saja!”
“Ya, tapi aku sungguh kuatir. Para abdiku sudah diam-diam mengambil buku-buku perpustakaan dari sana untukmu. Harap saja mereka tak ketahuan Ferguso.”
“Apa katamu, Puss? Jadi kau...!”
“Kau akan tahu segalanya saat kita menghadapi si Ferguso itu. Ayo Diego, waktu amat mendesak.”
“Tak ada jalan mundur lagi sekarang.” Kali ini mata Diego seakan berkilat. Ia tahu betul, ini adalah saat penentuan hidup atau mati bagi dirinya.

==oOo==

Sebagai mantan pemilik Puri Carabas, Puss si kucing tentu tahu betul “jalan tikus” rahasia untuk menyusup ke tempat yang pernah jadi rumahnya ini. Alhasil, kini Puss dan Diego sudah berada dalam puri dan bergegas menuju balairung utama.
Tiba di ruangan yang terhitung amat luas itu, Puss dan Diego terkejut dan ternganga. Ternyata si raksasa pengubah wujud, Magno Ferguso sudah duduk bersila, menunggu mereka di tengah balairung itu.
“Ah, senangnya aku mendapat tamu setelah bertahun-tahun menghuni puri ini.” Si raksasa berlagak sopan. “Selamat datang di Puri Ferguso, Don Enrique.”
Diego terenyak. Jadi itulah nama asli Puss. Ternyata kucingnya itu jelmaan Marquis Carabas yang asli.
Puss menatap jijik ke sekitarnya. Kotoran, sampah dan tulang-belulang yang berserakan di mana-mana jelas menegaskan lebih baik puri itu berganti nama daripada mencemarkan nama baik Carabas.
“Sudahlah, Ferguso. Simpan saja basa-basimu,” hardik Enrique alias Puss sambil menghunus pedang anggar mungilnya. “Aku telah mendapatkan pengakuan raja untuk Daerah Carabas dan penguasanya yang sah, Marquis dari Carabas. Tak lama lagi pasukan kerajaan akan mengepung tempat ini. Jadi cepat enyah dari sini sebelum seribu tombak bersarang di perut buncitmu.”
Sebaliknya, si raksasa malah tergelak hingga perutnya bergoyang-goyang. “Apa kau lupa kesaktianku, hah? Jangankan seribu prajurit, dewa dan iblispun bisa kuubah jadi kucing manis sepertimu, Puss!”
“Sudah kuduga kau akan berkata begitu. Diego, hati-hati! Ingat baik-baik semua jurus yang kuajarkan padamu!”
“Ya, guru!” Diegopun telah menghunus pedang escudonya, Coniferia. Si raksasa yang amat tambun itu bakal jadi sasaran empuk dua pendekar anggar ini.
“Haha, lihat saja nanti, Enrique! Kau dan anak ingusan berpakaian berlebihan itulah yang akan berserakan, jadi sampah kudapanku! Lihat baik-baik kekuatan gaibku!”
Sambil si raksasa bicara, wajahnya yang berjanggut pirang berubah menjadi wajah singa bersurai pirang keemasan. Tubuhnyapun berubah wujud menjadi tubuh singa yang juga berbulu keemasan.
Setelah perubahan wujud itu rampung, si manusia raksasa kini telah menjadi seekor singa yang juga raksasa. Itulah wujud terkuat Ferguso. Selama ini wujud singa itu hanya digunakan untuk memangsa manusia atau hewan-hewan besar seperti sapi atau semacamnya.
Puss dan Diego ternganga. Tak sedetikpun mereka menduga musuh yang mereka hadapi bakal sekuat ini. Namun mereka tetap siaga.
Puss membisiki muridnya agar menyebar, mencari kesempatan dan titik lemah musuh, lalu menyerang secara bergantian. Diego mengangguk dan langsung berlari ke sisi lain balairung.
Si singa raksasa mengaum dan menyerang maju. Sasaran yang pertama kali dipilihnya adalah Puss.
Dengan gesit, kucing itu berkelit sepenuhnya dari terkaman singa raksasa. Lalu ia memanjat tiang penyangga balkon, melompat sambil bersalto dan menyengat sisi kiri perut singa dengan ujung pedang.
Walau rasanya seperti ditusuk jarum, tak ayal si singa meraung kesakitan. Ia lantas berputar ke arah lain dan melihat Diego yang juga bergerak mencari celah. Naluri hewani mendorongnya menerjang ke arah Diego yang kurang pengalaman itu.
Sewajarnya Diego jadi pucat-pasi melihat sosok mengerikan itu dan lari pontang-panting, langkahnya kacau. Sesaat kemudian, langkahnya terhenti karena dihadang satu cakar raksasa. Diego berbalik hendak ke arah lain, namun taring-taring raksasa malah melesat ke arahnya, hendak melumatnya bulat-bulat.
“Tidak semudah itu, Ferguso!” Di saat yang tepat, Puss melompat setinggi-tingginya, berpijak dan mendoncang ke arah lain dari tiang balkon dan melesat ke arah singa itu, menusukkan pedang anggarnya ke satu sasaran. “Aha! Titik terlemahmu ada di mata!”
Ternyata si singa masih punya setitik kecerdasan dalam nalurinya. Dengan refleks ia merunduk, tak jadi menggigit Diego dan berhasil menghindari serangan Puss itu.
Tak disangka-sangka, Diego memanfaatkan petunjuk Puss tadi. Ia lantas mengerahkan salah satu jurus andalan yang ia kuasai, memusatkan seluruh tenaga dalamnya di satu titik yaitu ujung Pedang Coniferia dan menusuk lurus, mempertaruhkan segalanya antara hidup dan mati.
 Arah ujung pedang itu semula melenceng setelapak tangan dari mata besar si singa. Namun kepala si singa raksasa juga refleks hendak menoleh ke arah Puss, sehingga matanya terhunjam pedang escudo itu tanpa ampun.
Singa raksasa meraung di puncak rasa sakitnya, satu matanya kini rusak dan bercucuran banyak darah. Tak hanya itu, sihirnya jadi luntur dan ia kembali ke wujud aslinya, yaitu si raksasa tambun, Ferguso.
“Semua sudah berakhir, Ferguso,” ujar Diego tanpa bermaksud angkuh.
Si raksasa malah tertawa terbahak-bahak sambil menutupi satu matanya yang berdarah-darah dengan telapak tangan. “Dasar bocah lugu! Energi sihirku memang terkuras, tapi aku masih punya cukup untuk satu tipuan terakhir! Habislah kalian!”
Tanpa pikir panjang, si raksasa kembali berubah wujud, kali ini menjadi seekor tikus. Harapannya, ia tak akan bisa terlihat oleh para lawannya, mencari kesempatan untuk mengubah wujud Diego menjadi hewan untuk selamanya, senasib dengan Puss.
“Dasar bodoh. Kau lupa aku ini apa?” Sambil mengatakan itu, Puss si kucing menerkam tikus kecil itu dan melahapnya di tempat. “Akulah pengantar dirimu ke akhirat, Ferguso.”
 Melihat si raksasa penindas akhirnya musnah, para abdi dan pekerja di Puri Carabas cepat-cepat keluar menyambut Puss dan Diego. Tanpa bermaksud tak sopan, Puss berseru pada mereka, “Para abdiku yang setia, mohon bantuan kalian. Bersihkanlah tempat ini secepat mungkin! Aku sudah mencoba mengulur waktu, menunda kedatangan rombongan raja negeri kita dengan memberi petunjuk jalan agar si sais berputar-putar dulu sebelum tiba di sini. Tapi kini Baginda bisa datang setiap saat! Kumohon, cepatlah!”
“Kami laksanakan sekarang juga, tuanku!” jawab kepala pelayan.
Singkat cerita, kereta dan rombongan sang raja tiba di depan pintu utama Puri Carabas.
Tanpa terburu-buru, Puss dan Diego keluar untuk menyambut rombongan. Puss membungkuk amat rendah sambil berkata, “Selamat datang Yang Mulia, di puri Marquis dari Carabas!”
Raja Carlos, Putri Patricia dan Don Diego memasuki puri itu bersama Puss. Malamnya, mereka menikmati hidangan lezat dalam pesta yang cukup megah.
Sang raja amat senang dengan Don Diego dan menganggapnya jodoh yang amat baik bagi sang putri raja. Ia menoleh ke arah Diego dan berkata, “Maukah kau menikahi putriku, Don Diego?”
Diego membungkuk hormat sempurna. “Hamba bersedia, Yang Mulia. Sungguh kebahagiaan dan kehormatan besar bagi hamba menikah dengan Putri Patricia yang cantik jelita.”
Tak lama setelahnya, Diego yang kini bernama Don Diego de la Fontana dan Putri Patricia menikah dan hidup bersama dan bahagia dalam Puri Carabas. Daerah Carabas lalu memasuki masa kejayaan sebagai daerah pertanian unggulan dan menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya di Kerajaan Corazon.
Bagaimana dengan Puss Sepatu Bot? Karena sudah tak bisa lagi kembali ke wujud manusia, ia sudah cukup puas mendapatkan pewaris yang baik seperti Diego. Puss lantas meninggalkan Carabas dan menjadi pendekar pengelana, namanya akan melegenda sejauh kisahnya masih diceritakan sepanjang masa.
Yang pasti, Puss tak akan pernah mengejar, apalagi memakan tikus lagi seumur hidupnya.

Escudo: Salah satu logam terkokoh di Terra Everna, melebihi baja dan titanium.

Diadaptasikan ke versi Everna Saga dari dongeng klasik berjudul sama, “Kucing Bersepatu Bot”.

Comments

Popular Posts